conceptnova

Helping you to bring your concepts and ideas to life.

Vakasi lebaran

Saya masih begitu terheran-heran ketika mengetahui bahwa lebaran 1430 H jatuh pada tanggal 20 September 2009 dan itu artinya Ramadan tahun ini hanya selama 29 hari. Saya kira, Ramadan itu akan selalu 30 hari sebagaimana Januari yang selalu 31 juga September yang selalu 30 hari. Tapi ya sudahlah, toh saya bukan seorang astronom, pun bukan seorang ahli hilal. Setidaknya perut saya tidak perlu berkeroncong-ria untuk satu hari lagi. Dan ibu saya tidak perlu membuat kolak pisang yang jadi takjil wajib bagi si ayah untuk ketigapuluh kalinya.


Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana kami – saya dan keluarga – mudik ke Tasikmalaya, tahun ini kami mudik – mungkin tidak bisa dikatakan mudik – ke rumah kakak yang ada di Bandung. Pasalnya, nenek saya sedang ada di Bandung, dan itu tepat di rumah saya, menyebabkan saudara dari Bogor dan Tasik yang dapat giliran ke Bandung. Dan karena itu pulalah, saya tidak menjuduli tulisan ini dengan judul klasik seperi “berlibur ke rumah nenek” atau “mudik ke tasikmalaya” seperti yang saya lakukan dari masa SD sampai SMA ketika saya belum mengerti cara menulis.


Sebagai tuan rumah, beberapa hari sebelumnya, tentunya kami harus menyiapkan berbagai keperluan lebaran entah itu kue kering – yang entah kenapa selalu – berupa kastengel, nastar dan kue salju, sampai menu khas lebaran – yang entah kenapa pula selalu – berupa opor ayam, sambal goreng kentang dan ase cabe hejo, disempurnakan dengan kerupuk udang tentunya.


Hari ini adalah hari minggu dan ini tepat hari lebaran. Saat saya mandi saya tidak memikirkan betapa elegannya jika saya bisa menggantikan Luna Maya dalam iklan sabun, tapi memikirkan pakaian apa yang akan saya pakai nanti. Dan setelah memakai beberapa produk perawatan tubuh agar berkilau bak seorang bidadari di hari spesial ini, saya dan keluarga pun ber-salat id-ria. Walau tak ada keriaan yang menyertai, tapi saya tetap menyebutnya demikian. Tentunya diteruskan dengan acara sungkeman yang – ternyata - tidak sesyahdu seperti di Tasikmalaya. Tak ada air terjun dari air mata, atau air mata terjun – atau air terjun mata, ya? – yang mendekorasi pipi kami. Tak ada pula raungan-raungan penyesalan yang didramatisir oleh tangisan hiperbolis ala sinetron.


Dan acara makan pun dimulai, tanpa harus dikomando saya sudah dengan sigap memenuhi panggilan alam, kelaparan. Saya cari-cari makanan barangkali ada makanan enak sebangsa kue tart tapi sayangnya tidak ada, saya pun terhenyak – maaf, berlebihan – tepatnya, tersadar kalau ini adalah acara lebaran dan bukan hari ulang tahun! Maka saya akhirnya mengambil opor ayam dan ketupat seperti sepuluh lebaran pada sepuluh tahun terakhir.


Pemenuhan panggilan alam pun selesai, kami langsung berbenah dan memasukkan segala masakan - yang tidak sedikit itu - untuk kemudian dibawa ke rumah kakak yang ada di daerah Turangga yang akan dijadikan markas besar keluarga besar kami pada lebaran tahun ini. Makanan yang ada, termasuk satu ember opor ayam dan satu ember ketupat – ya ampun, apa kami terlihat bak keluarga pecinta ember ya? – juga dua waskom yang salah satunya berisi ase cabe hejo dan satunya lagi berisi sambal goreng kentang kami masukkan kedalam mobil Toyota Yaris yang mungil itu. Ditambah 4 toples besar makanan ringan, terbayang suasana ketika kami pergi dari rumah kami di Cipadung ke rumah kakak di Turangga, bukan? Sumpek.


Sampai di markas besar, kami pun langsung berbenah rumah. Memasang ini dan itu, menggeser ini dan itu, serta menginiitukan ini dan itu. Membuat kami tampak heboh. Namun setelah kami mengalami penantian panjang selama 2 jam, keluarga lain nampaknya belum bersua juga. Ya sudah, kami memutuskan untuk pergi ke Sukajadi terlebih dahulu untuk bertemu dengan keluarga dari pihak ayah.


Mobil mungil kami meluncur di tengah-tengah lengangnya jalanan kota Bandung, sehingga untuk sampai ke Sukajadi pun tidak butuh 15 menit. Saya pun langsung sungkem pada keluarga disana, lalu memenuhi panggilan alam lagi, kelaparan. Saya celingak-celinguk mencari makanan lain. Tapi entah karena menjunjung tinggi tradisi atau terlalu monoton sehingga tak ada makanan lain selain opor ayam dan ketupat. Ya ampun.


Acara pun berlanjut dengan bualan-bualan dari kakek dan paman saya kepada sepupu saya. Yang mengungkapkan betapa bodohnya Nanai – begitu sepupu saya biasa dipanggil – yang memilih sekolah di SMA BPI setelah ia tidak diterima di negeri. Saya sempat terheran-heran melihat betapa konservatifnya pikiran bapak-bapak disini. Padahal sekolah bisa dimana saja dan yang penting adalah kualitas pribadi Nanai itu, pikir saya. Selama itu, Nanai tertunduk malu, sungguh ironi.


Batas minimal ini pun ditandai dengan sebuah kenistaan yang tidak elegan.


Lalu objek penderita pun berubah menjadi saya. Mereka menghinadina dan mencacimaki – maaf, berlebihan – tepatnya membicarakan tentang kegagalan saya yang tidak lulus SNMPTN, padahal mereka – termasuk orangtua saya – tidak tahu kalau saya tidak ikut SNMPTN. Lantas mereka banyak berbual tentang kenalan-kenalan mereka yang lulus dari ITB dengan IPK tiga koma sekian yang langsung diterima di sebuah perusahaan minyak di Prancis. Padahal mereka – dan saya pun – tahu kalau bekerja disana belum tentu “sukses” hidupnya karena tak ada satupun universitas di jagat pendidikan Indonesia – termasuk ITB - yang memberikan sertifikat penjamin kesuksesan hidup.


Mereka memberi banyak petuah agar saya jangan bermalas-malasan dalam kuliah agar nanti dapat IPK tiga koma. Ya ampun, mereka pikir saya ini anak yang asal-asalan kuliah. Padahal saya sudah punya rencana yang lebih besar. Orientasi saya adalah IPK diatas tiga koma lima dan lulus dengan predikat cum laude, serta rencana untuk mengambil SKS dari tingkat lanjut kalau IPK saya pada semester kedua sudah tiga koma sekian.


Lantas, seolah saya adalah mahasiswa salah jurusan yang tertipu pencitraan orang lain atau mahasiswa manja yang kuliah dalam prodi pilihan ibunda tercinta, saya – lagi-lagi – diberi petuah. Memilih jurusan itu jangan mengikuti orang lain, jangan pula karena ikut kata orang tua, dan jangan karena ingin cepat kaya, katanya. Saya lalu mengungkapkan bahwa pemilihan jurusan komunikasi ini adalah murni pilihan saya, karena orangtua saya – sebenarnya - ingin saya masuk jurusan teknik sebangsa perminyakan yang samasekali tidak saya kuasai.


Aki Uju – begitu kami biasa memanggil kakek – lantas mengatakan bahwa saya adalah orang yang serius dalam mencapai kesuksesan hidup. Entah beliau menilai darimana. Saya pun teringat akan sesasak – maaf, salah – maksudnya, sesosok Wiliam Wongso – maaf, salah lagi – maksudnya, Andri Wongso dengan jargonnya “salam sukses, luar biasa” itu. Dan pamitnya saya serta keluarga diikuti dengan pujian dari kakek bahwa saya cocok menjadi model. Hati saya seketika bergemuruh bak mesin cuci rusak, membayangkan mungkin inilah saatnya saya menggantikan Luna Maya dalam iklan sabun. Tapi mata saya hanya berbinar sesaat karena kemudian saya tersadar, ya ampun kakek, pakailah kacamatamu itu.


Kami meluncur lagi menuju Turangga dan syok – maaf, berlebihan – tepatnya, kaget ketika enam keluarga sudah tiba. Saya pun langsung pura-pura sungkem pada mereka walau kami tahu bahwa tak ada salah yang baik dia maupun saya perbuat. Setelah itu kami bernarsis-ria dengan berfoto-foto, dan akhirnya dengan gugup – maaf, salah – maksudnya, gegap gempita menerima banyak THR dengan UMR sejumlah Rp 10.000. Dan hari pertama pun berakhir dengan obrolan panjang mengenai ikan pepes yang berasal dari kolam ikan di rumah nenek di Tasik.


Hari selanjutnya kami menonton konser MJ yang ditayangkan di RCTI dengan gaya tidur seksi bak seorang cleopatra, kemudian menyetel CD karaoke Mariah Carey dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Karena sayalah satu-satunya orang Bandung yang ikut pergi, saya pun menjadi pemandu bagi sepupu yang pergi ke BSM lalu ke BIP. Walau saya harus menelepon ayah dan menanyakan harus naik angkot apakah kami, untungnya sepupu saya memaklumi saya yang sedikit buta arah. Di BIP kami akhirnya memenuhi panggilan alam dengan menu yang baru! Bukan ketupat ataupun kue tart seperti yang saya idamkan, tapi kami makan Mango Chicken di restoran cepat saji A&W. Dan berhubung kami membawa kupon beli dua gratis dua, maka kami berempat masing-masing hanya membayar setengah harga. Senangnya. Di tempat ini pun kami menyelengarakan sebuah diskusi tentang “akankah tidak makan opor ayam mempengaruhi kesyahduan lebaran” yang berakhir dengan kesimpulan : kami tidak peduli.


Setelah membeli cilok dan kembali menelepon sambil menanyakan angkot yang harus kami naiki, kami pun pulang dan makan kembali dengan sosis, akhirnya opor ayam sudah habis!


Pagi di hari ketiga saya berawal dengan tidak elegan karena saya harus pergi berjalan kaki ke Superindo yang – ternyata - belum buka dalam rangka membeli mie instan untuk dimakan. Mengakibatkan saya dan dua orang sepupu akhirnya berkeliling jalan pelajar pejuang 45 selama 45 menit untuk menunggu waktu buka Superindo itu. Dan setelah tidak mendapat diskon walau kami menjadi pelanggan pertama hari itu, kami pulang.


Hari ini banyak saudara saya yang ingin ke pasar baru, belanja katanya. Saya sempat ditawari tapi kemudian menolak dengan alasan bukan penggila pasar. Dan selagi menunggu pulangnya saudara-saudara saya itu, saya hanya tidur dan makan.


Hari keempat, dan keluarga lain yang terakhir akan pulang hari ini. Dan setelah mereka pulang, kami – saya dan keluarga – tertegun dan bingung akan melakukan apa hari itu. Saya pun memutuskan untuk mengautiskan diri dengan buku-buku bacaan yang ada. Sedangkan adik saya nampak autis dengan laptop milik kakak.


Malamnya saya tersadar bahwa ada 4 tugas kuliah yang belum saya kerjakan. Dan karena kuliah saya adalah berorientasi IPK, malamnya saya meminjam laptop untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia ini. Saya menulis dengan hiperbolis layaknya seorang maniak. Saya mencurahkan berbagai rasa yang bergejolak di dalam dada – maaf, berlebihan - sampai saya kebablasan karena menceritakan dua hari dalam empat halaman. Dan akhirnya pada pukul 3 saya memasukkan data tugas ini ke HP milik adik.


Hari kelima dan saya harap ini hari terkahir saya di rumah kakak karena ada banyak tugas yang menggoda untuk dikerjakan. Ternyata tidak. Ya ampun, nista. Orangtua saya mengajak saya untuk pergi ke Banjar. Saya mengatakan tidak karena harus mengerjakan tugas, padahal siang itu saya hanya tidur, makan dan membaca buku, bukan mengerjakan tugas. Sorenya saya beserta adik dan kakak pergi ke BSM untuk membeli buku. Saya membeli 4 buah buku dan akhirnya membuat dompet saya kembali langsing dengan menguras semua uang THR saya sebanyak Rp 120.000 di Gramedia. Salah satunya adalah buku bahasa Inggris yang saya jadikan alasan betapa saya berkorban demi tugas bahasa Inggris.


Malamnya, setelah orangtua saya pulang dan membawakan kami rangginang, saya kembali mengerjakan tugas. Kali ini tugas bahasa Inggris tentang simple present tense. Saya tidak membuka buku bahasa Inggris yang baru saya beli karena memang untuk “sekedar” simple present tense saya hanya perlu membuka internet. Saya lembur kembali sampai pukul 3 dan kembali memasukkan data tugas bahasa Inggris ini ke HP adik. Namun alangkah terhenyaknya saya ketika tidak menemukan data tugas bahasa Indonesia yang hilang bak ditelan bumi. Mungkin adik saya yang marah - karena siangnya saya bilang padanya untuk tidak memakai baju ungu yang dilapis dengan kemeja hitam karena warna gelap tidak cocok untuk kulitnya yang juga gelap, namun ia tetap memaksa dengan alasan prestis – menghapus datanya. Ya ampun, saya harus mengulangnya di rumah pikir saya.


Dan hari keenam, setelah saya salat jumat saya makan. Tentu akan tidak elegan menceritakannya karena tak ada yang berkesan dari acara makan kali itu selain rasanya yang enak dan komentar adik saya yang sinis terhadap saya yang hanya mengambil wortel dari sup. Mungkin ia masih marah.


Dan saya kesal sekali padanya ketika kakak saya membaca tulisan adik tentang pengalaman lebarannya. Tulisan itu dipujinya karena menarik dan lucu. Sedangkan dari paragraf 5 sampai selesai sama sekali tidak dipujinya karena tidak menarik. Kalimat keheranan tentang lama Ramadan kali ini, alasan kami tidak mudik, persiapan kami sebagai tuan rumah dan kalimat memakai beberapa produk perawatan tubuh agar terlihat berkilau bak seorang bidadari menjadi kalimat utama di paragraf-paragraf pembuka. Saya pun penasaran dan akhirnya membaca tulisan adik saya itu dan makin marah ketika tahu persis bahwa 4 paragraf pertama yang kakak saya puji sebenarnya adalah tulisan saya yang ditirunya bulat-bulat! Maaf, berlebihan – kita semua tahu tidak ada tulisan yang berbentuk bulat. Pantas saja sama.


Sorenya, setelah mengobrol panjang mengenai katu kredit sambil menunggu suami kakak – ya, kakak saya sudah menikah - yang baru tiba di Bandung dari Jakarta pada jam 5, saya dan keluarga pun pulang. Sampai di rumah saya langsung mengetik ulang tulisan ini secara lebih ringkas namun lebih hiperbolis dibanding yang pertama – supaya beda dengan tulisan adik saya, karena bagi saya menulis tidaklah sulit. Saya masih ingat persis 2 paragraf pertama dari kata per kata.


Saya mengerjakan ulang tugas ini sampai batas minimal pada magrib, membaca buku tentang reporter, kemudian tertidur selama 4 jam. Saya meneruskannya pada jam 1 dan sekarang berakhir dengan ekstra setengah halaman dari batas maksimal pada jam 3 karena saya ingin ke toilet lantaran sakit perut.


Dan tulisan ini pun berakhir dengan tidak elegan.

0 komentar: